Pengikut

Sabtu, 25 September 2010

Kejang Demam/Febrile Convultion

SKENARIO.
Pajero, 2 years old was brought to the emergency room after experiencing a new onset seizure. The parent report that child has had decreased appetite with slight irritability for the last 12 hours. While taking a nap, he experienced he sudden onset of rhythmic jerkingof upper and lower extremities with his eyes rolling back into his head for approximately 1 minute. This prompted his parent to bring him emergency room where he experienced a second event. On review of developmental milestone,he walks and runs well. Speaks in short phrases,and identifies body parts. An older sister experienced a similar seizure at 18 month of age.
Physical Examination
Vital sign: temperature 39 oC. mild tachypnea. General examination : No dysmorphic facial features. No nuchal rigidity. Neurologic examination; mental status: sleepy but arousable. Cranial nerves : his pupil are equel, round, and reactive to light. He tracks object in all direction when awake. His face is symmetric. The tongue is midline. Motor : he has normal bulk and tone. He moves all four extremities against gravity. Coordination : he grabs object without dysmetria. Gait : he has a normal toddler gait without ataxia. Reflexes 2+ throughout with bilateral plantar flexor responses.


I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. New onset seizure : Kejang pada onset yang baru
2. Slight irritability : Agak peka terhadap rangsangan
3. Rhythmic jerking : Refleks mendadak/ gerakan involuntar yang ritmik
4. Development : Patokan tumbuh kembang bayi normal pada
Milestone pada setiap jenjang usia yang berbeda
5. Mild tachypnea : takipneu ringan
6. Dysmorphic : Kelainan pada perkembangan morfologi
7. Nuchal rigidity : Kaku kuduk
8. Sleepy but arousable : Mengantuk tapi masih bisa dibangunkan
(somnolen)
9. Bulk and tone : Kekenyalan dan tonus
10. Dysmetria : Gangguan pada daya pengendalian otot
11. Ataxia : Kegagalan koordinasi/ ketidakteraturan kerja otot
12. Reflexes 2+


II. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Pajero (Anak laki-laki, 2th) mengalami new onset seizure (MAIN PROBLEM)
2. Nafsu makan menurun dengan slight irritability sejak 12 jam terakhir
3. Setelah tidur siang, mengalami rhythmic jerking yang tiba-tiba sekitar 1 menit pada ekstremitas atas dan bawah dengan mata mendelik ke atas
4. Kejang kedua terjadi di UGD
5. Kakaknya pernah mengalami kejang yang sama pada usia 18 bulan
6. Pemeriksaan fisik
1.Temp. 390C
2.Mild tachypnea
3.Mental status : somnolen
4.Refleks 2+ sepanjang bilateral plantar flexor responses


III. ANALISIS MASALAH

1. a. Penjelasan tentang new onset seizure?
New onset seizure dalam hal ini adalah kejang yang terjadi secara tiba-tiba dengan hentakan ritmik pada ekstremitas atas dan bawah yang berlangsung selama kurang lebih satu menit setelah tidur siang. Lebih lanjut tentang kejang pada bagian sintesis

b. Kemungkinan yang menyebabkan terjadinya seizure ini
Demam yang terjadi pada bayi dan anak-anak sering kali menyebabkan kejang walau suhu tubuh tidak terlalu tinggi karena darah yang mengalir ke otak mereka sebesar 65% sedangkan pada manusia dewasa hanya 15%

c. Jenis seizure (sintesis)
d. Indikasi terjadinya seizure (sintesis)

e. Hubungan usia, jenis kelamin dengan seizure
Secara epidemiologi, anak laki-laki lebih sering terkena kejang demam. (Kapita selekta FKUI,2008 ) .Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun dengan puncak insidensi sekitar 18 bulan. Hamper 3 % anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah mengalaminya (millichap,1968) dalam IKA UI.

Dan usia > 5 tahun lebih sering mengalami kejang demam (Syarif Darwin, 2008). Laporan-laporan spesifik jenis kelamin mengisyaratkan Sedikit lebih banyak pada laki-laki, berhubungan dengan proses maturitas sel saraf yang lebih cepat pada perempuan. (dala patofisiologi price and Wilson)

2. a. Penyebab nafsu makan berkurang
Biasanya disebabkan karena demam. (sintesis)

b. Penyebab slight irritability
Kata-kata irritability digunakan untuk bayi dan anak kecil yang sakit, khususnya cerewet, mengaduh dan banyak tingkah, meskipun kita mencoba untuk menenangkannya.

Penyebab irritability yaitu :
- Alcohol or drug withdrawal state
- Cancer
- Colic in infants
- Congenital infections
- Diabetes or other metabolic disease
- Drug reaction
- Ear infection
- Encephalitis
- Fracture, sprain, or other bone, joint, or tissue injury
- Headache (migraine or other)
- Head trauma
- Hydrocephalus
- Hypoglycemia
- Intestinal obstruction
- Intracranial bleeding or abscess
- Iron deficiency anemia
- Lead poisoning
- Meningitis or other serious infection
- Milk intolerance
- Nutritional deficiencies
- Pinworm
- Sleep disorders
- Tay-Sachs or other genetic disease
- Viral infection
Demam dapat menyebabkan anak menjadi rewel, demam (hipertermia)metabolisme meningkataktivitas meningkat (rewel,dll)

c. Hubungan nafsu makan berkurang dan slight irritability dengan kejang (sintesis)
d. Hubungan nafsu makan berkurang dan slight irritability dengan waktu (sintesis)

3. a. Hubungan waktu tidur dengan gejala yang dialami
b. Mengapa rhythmic jerking tiba-tiba?
c. Mengapa rhythmic jerking terjadi pada ekstremitas atas dan bawah? (sintesis)
d. Mengapa mata mendelik ke atas? (sintesis)
e. Penyebab gejala tersebut terjadi selama 1 menit
Apabila kejang yang terjadi berlangsung singkat, maka jarang menimbulkan kerusakan. Sebaliknya, kejang yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan. Selama kejang, kebutuhan metabolisme, lepas muatan saraf-saraf motorik, aliran darah ke otak, respirasi, dan glikolisis meningkat. Dengan kata lain, semakin lama durasi kejang seseorang akan semakin banyak energi yang terbuang selama terjadinya kejang.


4. a. Penyebab second event (sintesis)
b. Efek/ dampak kejang berulang

5. a. Hubungan faktor genetik (riwayat keluarga) dengan kejang
Lennox dan buccal (1971) dalam IKA UI berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal 3%.

Sudah ditemukan genetik yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam. 6 lokus gen yang memungkinkan untuk terjadinya kejang demam sudah diidentifikasi pada kromosom 8q13-q21 (FEB1), 19p (FEB2), 2q23-q24 (FEB3), 5q14-q15 (FEB4), 6q22-q24 (FEB5), and 18p11 (FEB6). Lebih jauh lagi,mutasi pada voltage-gated sodium channel alpha-1, alpha-2 dan beta-1 subunit gen (SCN1A, SCN2A and SCN1B) dan the GABA(A) reseptor gamma-2 subunit gen (GABRG2) telah diidentifikasi pada keluarga yang menderita "generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+)".


b. Mengapa kakaknya mengalami kejang usia 18 bulan, sedang dia 2 th?
3 % - 4 % anak yang mengalami kejang demam dibawah umur 5 tahun. Paling sering terjadi antara umur 6 bulan – 5 tahun, dengan puncaknya umur 14 – 18 bulan.


6. a. Interprestasi hasil pemeriksaan fisik (sintesis)
b. Hubungan temperatur 39oC, mild takipnea, somnolen dengan kejang
c. Mekanisme temperatur 39oC, mild takipnea, somnolen

7. a. Cara mendiagnosis
b. Differential diagnosis
c. Diagnosis
d. Etiologi dan faktor risiko
e. Epidemiologi
f. Patofisiologi/patogenesis
g. Manifestasi klinis
h. Terapi dan preventif
i. Prognosis
j. Komplikasi
k. KDU



IV. HIPOTESIS

Pajero (2 th), anak laki-laki, menderita kejang demam kompleks

V. KERANGKA KONSEP

Infeksi

DEMAM ( T=39,5 )

tiap kenaikan suhu 1°C mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen 20%

Perubahan keseimbangan membran sel otak

difusi ion K dan Na melalui membran dalam waktu singkat

lepasnya muatan listrik yang cukup besar

meluas ke seluruh sel/membran sel terdekat dengan bantuan neurotransmitter

KEJANG










VI. LEARNING ISSUESS

Pokok bahasan What I know What I don’t know What I have to prove How I will learn
Kejang




Kejang demam





Developmental milestone


Jenis Penyakit



Jenis Penyakit, etiologi, patofisiologi. komplikasi

Pengertian Etiologi, patofisiologi, diagnosis, terapi, prognosis

Diagnosis, terapi,






Pembagian umur bayi dan anak berdasarkan kemampuan otak yang normal sebagai acuan Jenis kejang yang sesuai agar pengobatan tepat


Penyebab kejang dan demam





Ada tidaknya kelainan neurologis pada pasien ini Textbook, internet, and journals.









VIII. SINTESIS

KEJANG

Kejang merupakan hasil dari pelepasan aktivitas listrik paroksismal abnormal oleh neuron otak.
Kejang rekuren,spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolism selama bertahun-tahun disebut epilepsy. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang.
Penyebab kejang :
a. Lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu sehingga menganggu fungsi normal otak.
b. Jaringan otak dibawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa, elektrolit.
Di tingkat membrane sel, focus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi termasuk yang berikut:
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitivitas dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan kelebihan asetilkolin atau defesiensi asam gama aminoobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik dan deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejan, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat, lepasan muatan sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 perdetik. Aliran darah ke otak juga meningkat, demikian juga dengan respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin juga muncul di cairan serbrospinal (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate juga mengalami deplesi.

Klasifikasi kejang
• Kejang parsial : kesadaran utuh walaupun mungkin berubah;focus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain
o Parsial sederhana
 Motorik : gerakan abnormal unilateral
 Sensoris : merasakan membaui,mendengar sesuatu yang abnormal
 Autonom : takikardia,bradikardia,takipneu,kemerahan,rasa tidak enak di epigastrium
 Psikik : disfagia,gangguan daya ingat
 Biasanya berlangsung kurang dari satu menit
o Parsial kompleks(kesadaran terganggu)
 Parsial sederhana,diikuti oleh gangguan kesadaran
 Kesadaran terganggu pada mulainya disertai oleh
• Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme(mengecap-ngecapkan bibir,mengunyah, menarik-narik baju)
• Biasanya berlangusung selama 1-3 menit
o Kejang parsial dengan generalisasi sekunder
• Kejang menyeluruh (generalisata) : hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal,bilateral ,simetrik dan tidak ada aura
o Tonik –klonik : spasme tonik-klonik otot; inkontinesia urin dan alvi ;menggigit lidah;f ase pascaiktus
o Tonik : peningkatan mendadak tonus otot(menjadi kaku,kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas;fleksi lengan dan ekstensi tungkai
 Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi
 Dapat menyebabkan hen ti nafas
o Klonik : gerakan menyentak,repetitive,tajam,lambat,dan tunggal atau multiple di lengan,tungkai atau torso
o Mioklonik : kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat
o Atonik : hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)
o Spasme infantile
o Absence : sering salah didiagnosis sebagai melamun
 Menatap kosong,kepala sedikit lunglai,kelopak mata bergetar,atau berkedip secara cepat,tonus postural tidak hilang
 Berlangsung beberapa detik
• Kejang tak terklasifikasi
Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran uth atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tapi tidak hilang). Kejang parsial dimulai disuatu daerah di otak,biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi focus di otak. Sebagai contoh:
• Di korteks motorik :kedutan otot
• Di korteks sensorik :mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal,sensasi seperti ada yang merayap atau seperti tertusuk-tusuk
Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan berkeringat,dan muntah. Gangguan daya ingat disfagia dan dejavu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial.
Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran.lepas muatan kejang pada kejang parsialkompleks (dahulu dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering barasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran ,serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang dapat dipicu oleh music,cahaya berkedip – kedip atau rangsangan lain disertai oleh aktivitas motorik repetitive involunta yang terkoordinasi. Contoh :menarik-narik baju,meraba-raba benda,bertepuk tangan,mengecap-ngecap bibiratau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan khayal berkabut seperti mimpi . pasien tetap sadar selama serangan tapi umunya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. Kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktifitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi dikedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang.
Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan kehilangan kesadaran secara singkat,jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh:pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan,menatap kosong atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Jarang dijumpai setelah usia 20 tahun . menghilang setelah pubertas.
Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsy yang klasik. Kejang tonik klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis ,akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme thoraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya ,mengalami gerakan tonik kemudian klonik dan inkontinensa urin atau alvi atau keduanya disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik,otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Lidah mungkin tergigit. Keseluruhan kejang berlangsung 3-5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar munkin pasien tampak kebingungan ,agak stupor atau bengong. Tahap ini disebut periode pascaiktus.
Efek fisiologik kejang tonik klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologic dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan meningkatnyakatekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung dan napas.
Kejang tonik-klonik demam,yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat dan mungkin terdapat predisposisi familial.
Selain jenis-jenis kejang generalisata yang umum ini sebagian mungkin dapat di anggap sekunder. Cedera kepala tetap merupakan penyebab tersering kejang didapat. Apapun mekanismenya, penetrasi dura merupakan factor resiko yang signifikan untuk timbulnya kejang. Dalam kaitannya dengan patofisiologi kejang,terdapat dua factor penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat gaya mekanis yang merobek prosessus dendritik,merusak kapiler,dan menggangu lingkungan ekstrasel . cedera sekunder ditimbulkan oleh edema serebrum. Penimbunan produk metabolic toksik dan iskemia akibat hipotensi ,hipoksia dan hiperkarbia ikut berperan dalam menimbulkan edema serebrum. Mekanisme patofisiologik timbulnya kejang setelah trauma kepala adalah iskemia akibat terganggunya aliran darah,efek mekanis dari jaringan parut,destruksi control inhibitorik dendrite,gangguan sawar darah-otak dan perubahan dalam system penyangga ion ekstrasel.
Kejang terjadi paling sering dalam 30-90 hari pertama setelah cedera kepala. Karakteristik pasien beresiko tinggi adalah skor GCS kurang dari 10,adanya perdarahan intrakranium,cedera menembus dura,atau fraktur depresi tulang tengkorak atau kombinasinya.
Kejang dapat terjadi akibat fase akut atau sekuele dari infeksi SSP yang disebabkan oleh bakteri,virus,parasit. Kejang merupakan gejala klinis pertama pada abses serebrum.
Kelainan metabolic sebagai kelainan yang mendasari kejang ,mencakup hiponatremia , hipernatremia,hipoglikemia,keadaan hiporosmolar,hipokalsemia,hipomagnesemia,hipoksia dan uremia. Gejala neurologic dan perubahan kadar natrium serum terjadi akibat peningkatan atau penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan dengan kadar absolute kurang dari 125 mEq/L atau lebih dari 150 mEq/L.(Sumber IKA UI,nelson jilid 3,patofisiologi jilid 2)
c. Nervus Abducens
Nervus abducens adalah saraf motorik kecil yang mempersarafi musculu srectus lateralis bola mata. Serabut-serabut nervus abducens melintas ke anterior melalui pons serta muncul di alur antara tepi bawah pons dan medula oblongata, berfungsi untuk menggerakkan bola mata ke lateral.

Pada kasus ini, suhu yang tinggi , cetusan muatan listrik yang berlebihan mengakibatkan kontraksi berlebihan (potensial aksi secara terus menerus) pada saraf-saraf kranial yang menggerakkan bola mata tersebut di atas. Sehingga dapat terjadi gangguan tonik klonik pada otot penggerak bola mata yang bermanifestasi ‘roll back eyes’ seperti yang dialami Jeng Kelin. Hal ini adalah salah satu bentuk kejang.
 Rhytmic jerking pada ekstremitas atas
Depolarisasi neuron juga dapat mengenai saraf-saraf pengerak otot pada ekstremitas atas seperti N.medianus, N.ulnaris, N.muscolutaneus, N.radialis yang mempersarafi motorik dari M.pronator teres caput humerale, M.brachialis, M.Bicep brachii, M.brachioradialis yang menyebabkan tulang radius dan ulna yang mula-mula kaku (tonik) kemudian gerakan menyentak-nyentak (klonik)rhytmic jerking.
 Rhytmic jerking pada ekstremitas bawah
Depolarisasi neuron juga dapat mengenai saraf-saraf pengerak otot pada ekstremitas bawah seperti N.femoralis yang mempersarafi motorik dari M.quadriceps femoralis, M.ectus femoralis, M.vastus intermedius,M.vastus lateralis, M.vastus medialis yang menyebabkan kaki yang mula-mula kaku (tonik) kemudian gerakan menyentak-nyentak (klonik)rhytmic jerking.

Patofisiologi Kejang
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

Working Diagnostic
Anamnesis: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga
yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung).
Pemeriksaan Neurologis : tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan Laboratorium : pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula
darah).
Pemeriksaan Radiologi : X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) : tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi
lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan.
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.
Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) : tidak direkomendasikan, kecuali
pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.



a. Diagnosis Banding

Kejang Demam Meningitis Ensefalitis Tetanus Epilepsi Kasus
Azura
KDS KDK
Kejang + + + + + + +
Frekuensi kejang dalam 24 jam Tidak berulang Berulang (> 2x) berulang berulang Kejang bila dirangsang Tidak berulang
Durasi kejang < 15 menit > 15 menit > 1 jam 20 menit
Demam + + + + + - +
kesadaran Kompos mentis Kompos mentis ↓ ↓ sadar ↓ Komposmentis
Riwayat Keluarga + + - - - + +
Kaku kuduk - - + + + - -
UUB normal normal cembung normal normal normal normal
LCS normal normal Keruh jernih jernih jernih Normal, jernih
Pandy test - - + + - -
Jumlah sel dalam LCS normal ↑ ↑ Sedikit/- normal normal normal
Pancaran LCS biasa biasa ↑ ↑ - biasa Biasa

Kesan dari hasil pemeriksaan terhadap pasien ini:
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pada Jengkelin, berupa anamnesis, dan pemeriksaan fisik dapat terlihat indikasi ke arah kejang demam. Dengan menyingkirkan:
- meningitis  karena tidak adanya kaku kuduk
- ensepalofitis  tidak dipilih karena lama kejang biasanya > 1 jam, dan ukuran UUB membesar
- tetanus  karena pada tetanus akan terjadi kejang apabila ada rangsangan tertentu dan pada saat kejang, penderita dalam keadaan sadar.
- epilepsi  karena umumnya epilepsi tidak disertai demam
sehingga kemungkinan yang terjadi pada Jengkelin merupakan kejadian kejang demam, dan tergolong kejang demam kompleks karena kejadian/frekuensi kejang terjadi 2x 24 jam.

b. Diagnosis
Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan kejang tidak akan diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu satu tahun terjadi lebh dari satu serangan maka perlu dipertimbangkan untuk mulai dengan obat-obat antiepilepsi. Diagnosis epilepsi biasanya dapat dibuat dengan cukup pasti dari anamnesis lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan neurologik serta elektroensefaligrafi (EEG).

c. Terapi
Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya.
1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, oxcarbazepine, Zonisamide, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate
2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate
3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine, Vigabatrin, Gabapentin, Topiramate
4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate
5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate
6. Hormon
7. dan obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya : Primidine, Valproate, Levetiracetam. 11

d. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,progmosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian . Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
a. Kejang demam berulang
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko terjadinya kejang demam berulang adalah:
Faktor resiko berulangnya kejang:
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia <18 bulan
c. Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang demam, makin kecil resiko berulangnya kejang demam.
d. Lamanya demam sebelum kejang. Makin pendek jarak antara mulainya demam dengan terjadinya bangkitan kejang demam, makin besar resiko berulangnya kejang demam.






b. Epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah:
o kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
o kejang demam kompleks
o riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsy sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam (Annegers dkk, 1987)
c. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (Maytal & Shinnar,
1990).

KEJANG DEMAM

Kejang demam merupakan kejang yang cukup sering dijumpai pada anak – anak yang berusia dibawah 5 tahun, gejala – gejala yang timbul dapat bermacam – macam tergantung dibagian otak mana yang terpengaruh, tetapi kejang demam yang terjadi pada anak adalah kejang umum .

Insidensi kejang demam di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa barat mencapai 2 – 4 % sedangkan di negara – negara asia jumlah penderitanya lebih tinggi lagi. Sekitar 20 % diantara jumlah penderita mengalami kejang kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Faktor resiko utama yang umum menimpa anak balita usia 3 bulan sampai 5 tahun ini adalah demam tinggi. Bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 1 0C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak terjadi kejang ulang yang biasanya lebih lama frekuensinya dari kejang pertama. Timbulnya kejang pada anak akan menimbulkan berbagai masalah seperti resiko cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang lebih fatal adalah lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan nafas.

Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002)

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rektal diatas 380 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Jadi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

ETIOLOGI
Infeksi ekstrakranial , misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

PATOFISIOLOGI
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui
membran tersebut dengan akibat teerjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin
meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan
pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.

MANIFESTASI KLINIK
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana :

Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut
ini :
 Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi
tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
 Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
 Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
 Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b. Kejang parsial kompleks
 Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
 Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
 Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
 Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
 Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik
 Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
 Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi secara mendadak.
 Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
 Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
 Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
 Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
 Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
 Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
 Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
 Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
 Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

KOMPLIKASI
1. Aspirasi
2. Asfiksia
3. Retardasi mental

UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis
dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak
5. Uji laboratorium
 Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
 Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
 Panel elektrolit
 Skrining toksik dari serum dan urin
 GDA
 Kadar kalsium darah
 Kadar natrium darah
 Kadar magnesium darah

PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Memberantas kejang Secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.

2. Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh Dilupakan perlunya pengobatan
penunjang
 Semua pakaian ketat dibuka
 Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
 Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen,
bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
 Penhisapan lendir harus dilakukan secara tertur dan diberikan oksigen.

3. Pengobatan rumat
 Profilaksis intermiten
Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat campuran anti
konvulsan dan antipietika. Profilaksis ini diberikan sampai
kemungkinan sangat kecil anak mendapat kejang demam sederhana
yaitu kira - kira sampai anak umur 4 tahun.
 Profilaksis jangka panjang
Diberikan pada keadaan
 Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
 Kejang demam yang mempunyai ciri :
- Terdapat gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi,
retardasi perkembangan dan mikrosefali
- Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, berdifat fokal atau
diikiuti kelainan saraf yang sementara atau menetap
- Riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
- Kejang demam pada bayi berumur dibawah usia 1 bulan

4. Mencari dan mengobati penyebab

Interpretasi hasil pemeriksaan fisik :
Vital Sign
Temperatur
Pajero menderita demam tinggi karena suhunya 39oC
Berdasarkan kelas :
a) Low grade : 38-39o C
b) Moderate : 39-40o C
c) High grade : > 40o C
d) Hyperpyrexia : > 42o C

Frekuensi nafas
Usia RR (x/menit)
Neonatus 30-60
1-12 bulan 30-60
1-2 tahun 25-40
3-4 tahun 20-30
5-9 tahun 15-30

Takipnea ringan terjadi pada pasien ini karena apabila terjadi peningkatan suhu tubuh, maka metabolisme tubuh meningkat, sehingga memerlukan suplai oksigen lebih banyak dengan cara bernafas lebih cepat.

Keadaan Umum :
Inspeksi :
• Tidak ada kelainan anatomi pada wajah (no dismorphic)  normal

Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Nuchal Rigidity (Kaku Kuduk)
Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala anak yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
Pada pasien tidak terdapat kaku kuduk  normal.

Pemeriksaan Neurologi
Status Mental (kesadaran):
– Kompos mentis :
• Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan.
– Apatis :
• Anak tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
– Delirium :
• Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik.
• Gaduh gelisah, kacau, disorientasi, meronta-ronta.
– Somnolen :
• Mengantuk yg masih pulih bila distimulus.
• Tidur kembali bila rangsangan berhenti.
– Sopor (stupor) :
• Keadaan mengantuk yg dalam
• Dapat bangun dgn rangsangan yg kuat
• Tidak dapat memberi jawaban verbal yang baik
– Koma :
• Penurunan kesadaran berat
• Tidak ada gerakan spontan
• Tidak ada respons terhadap rangsangan nyeri

Pada kasus ini, pasien mengalami rasa kantuk yang masih bisa dibangunkan, sehingga termasuk Somnolen. Ini diakibatkan post-ictal yakni pasca kejang yang berdampak mengantuk pada anak.


Pemeriksaan Saraf Kranial pada Anak
Ada 12 buah saraf kranialis yang harus dievaluasi pada bayi dan anak. Dengan melakukan pemeriksaan lengkap pada ke 12 buah saraf kranialis tersebut kita dapat mengetahui ada tidaknya gangguan pada otak (intra kranialis).
1. N.Olfaktorius
Pemeriksaan ini biasanya tidak rutin dilakukan. Walaupun begitu, dilakukan pada anak yang sudah berumur lebih dari 32 minggu. Biasanya membaui kopi, peppermint, dan zat lain yang biasa dicium oleh anak. Anosmia adalah ketidakmampuan untuk membaui aroma. Kerusakan yang terjadi bisa pada n.I itu sendiri, talamus atau lobus frontalis.
2. N.Optikus
Pemeriksaan ini sangat penting. Untuk mengetahui bagus atau tidaknya retina, perlu diketahui fungsi dilatasi pupil. Pupil anak biasanya membesar (midriasis) apabila diberi dot, dan apabila kepalanya dimiringkan pada satu sisi. Pada umur 37 minggu, normalnya anak mulai menoleh kepalanya dan matanya ke arah cahaya. Dan akan mengikuti kemana cahaya itu bergerak. Pupil diperiksa ukurannya, kesamaan dan refleksnya terhadap cahaya. Diameter pupil normal = 3-4 mm. Apabila pupil miosis bila terkena cahaya, maka itu berarti normal. Untuk memeriksa lapangan pandang anak, taruh mainan di belakang anak dan gerakkan mainan tersebut hingga anak dapat melihatnya.
3. N. Okulomotoris, N. Trokhlearis, dan N. Abduscen
Observasi pada pergerakan bola mata dapat menunjukkan adanya gangguan pada otot-otot ekstra okuler yang diinervasi oleh n.III, n.IV, dan n.VI. Apabila anak tiba-tiba memutar kepalanya ke kanan, maka mata anak akan melihat ke kiri dengan simetris, dan juga sebaliknya. Dan apabila kepala anak tiba-tiba fleksi ke bawah, maka mata anak akan melihat ke atas secara simetris, ini juga berlaku sebaliknya. Normalnya pada anak, ia akan melihat benda yang menarik dan akan mengikutinya ke segala arah.
Pada pasien, saat bangun, ia melihat pergerakan benda yang menarik pada segala penjuru. Ini menyatakan bahwa gerakan bola mata nya normal.
4. N. Trigeminal
Terbagi menjadi 3 bagian sensori: Ophtalmikus, Maxilaris dan Mandibularis. Dapat diperiksa pada anak dengan menyentuh lobang hidung dengan kapas, ataupun menggesek pelan pada tiap area tersebut dengan kapas. Pada maxilaris dan mandibularis dapat juga dilihat dengan cara menghisap anak.
5. N. Facialis
Pada saat anak menangis, kita dapat melihat apakah kontraksi otot-otot wajahnya simetris atau tidak. Adanya lesi pada n.VII menyebabkan wajahnya tampak tidak simetris sewaktu menangis.
Hasil pemeriksaan pada pasien  wajahnya simetris.
6. N. Vestibulokokhlearis
N. Kokhlearis untuk pendengaran, diperiksa dengan membunyikan bel pada saat anak sedang diam atau menghisap susu, normalnya anak akan melihat ke arah bunyi.
N. Vestibularis untuk keseimbangan, diperiksa dengan cara tes kalori. Saat kepala membentuk sudut 30o dengan garis horizontal, beri sedikit air es ke saluran telinga luar dengan menggunakan suntik. Normalnya, akan terjadi nystagmus yang akan bergerak ke arah labirin yang terstimulasi.
7. N. Glosofaringeus
Mempersarafi otot stylofaringeal. Diperiksa dengan cara menstimulasi dinding faringeal posterior dengan sumbatan, sehingga terjadi refleks muntah.
8. N. Vagus
Lesi pada n. Vagus akan menunjukkan ketidaksimetrian pada pallatum dan ada kesengauan suara. Untuk mengetes suara batuk pada balita, tekan trakea pada bagian suprasternal notch.

9. N. Aksesorius
Apabila terjadi lesi pada saraf tersebut, akan terjadi paralisis dan atrofi pada m. Sternomastoid dan clavicularis.
10. N. Hipoglosus
Pada lidah perhatikan ada tidaknya atropi atau fasikulasi. Lidah diperiksa harus dalam keadaan istirahat di dasar mulut. Apbila didapatkan kontraksi yang cepat dan fasikulasi, harus dicurigai adanya gangguan pada nukleus n.XII (Hipoglosus).
Hasil pada pasien: posisi lidahnya berada di tengah garis lurus  normal.

Pemeriksaan Motorik

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus + normal + normal + normal + normal
Klonus - - - -
Refleks fisiologis + normal + normal + normal + normal
Refleks patologis - - - -

- Tonus dan kekenyalan diperiksa pada tulang panjang, karena pada balita susah untuk diperiksa karena banyak terdapat lemak, sehingga harus dipalpasi. Dikatakan di skenario bahwa pasien memiliki kekenyalan dan tonus otot yang normal.
- Kekuatan otot pada pasien terbilang normal, karena bisa menggerakkan keempat ekstremitasnya melawan gravitasi.
Nilai Interpretasi:
0 = tidak ada kontraksi otot
1 = Hanya bisa menggerakkan jari(menggrakkan otot-otot kecil)
2 = Menggerakkan otot dan sendi besar(menggeser tangan)
3 = Sudah bisa melawan gravitasi tetapi hanya sebentar
4 = bisa melawan gravitasi tetapi kurang dari yang no 5, jalan tidak seimbang
5 = bisa melawan gravitasi(seperti orang normal).
- Klonus : Hanya diperiksa pada kaki. Ada dua cara untuk melihat klonus otot meningkat. Pertama, dengan cara menarik tendon kuadricep femoris ke atas dan kebawah. Dan yang kedua adalah dorsofleksi pedis dengan sentakan.
- Tes Koordinasi
Untuk menilai aktivitas serebellum. Serebellum adalah pusat yang paling penting untuk mengintegrasikan aktivitas motorik.
Koordinasi pada pasien adalah normal, karena dapat meraih benda tanpa dysmetria, yakni salah dalam pengukuran jarak benda.

- Gaya Berjalan (Gait)
Gaya berjalan yang abnormal antara lain:
a. Berjalan dengan tumit
b. Kaku seperti tentara
c. Kaki diseret
Dalam kasus ini, pasien berjalan normal seperti balita lain pada umumnya.
- Refleks Tendon Dalam
Refleks yang dilakukan pada kasus ini adalah refleks plantar flexi. Caranya adalah dengan menggoreskan telapak kaki bagian di sepanjang lateral dan belok ke medial di bawah jari. Normalnya, akan terjadi plantarflexi pada kaki dan jari kaki, yakni flexi ke bawah.
Nilai Interpretasi:
- 0  absen, tidak bergerak
- 1  kurang bergerak, lemah
- 2  bergerak normal
- 3 agak kuat bergerak, tetapi biasanya masih normal
- 4 hiperaktif

Pemeriksaan Plantar
Gradasi refleks dapat di-bagi atas beberapa tingkat, yaitu:
Hiperaktif dengan klonus¬¬4+ atau ++++
Hiperaktif tanpa klonus3+ atau+++
NORMAL2+ atau ++
Hipoaktif1+ atau +
Tidak ada respon0

REFLEK FISIOLOGIS
Pemeriksaan Refleks Dalam
1. Refleks triseps ( C6,7-8, N.radialis)
2. Refleks tendon biseps brakhialis (C.5-6, N.muskulokutaneus)
3. Refleks tendon lutut ( L2-3-4, N.femoralis)
4. Refleks tendon achilles( L.5,S.1-2, N.tibialis)
5. Refleks biseps femoris( L.4-5,S.1-2, N.ischiadicus)
6. Refleks maseter
7. Refleks periosteum radialis (C5-6, N.radialis)
8. Refleks periosteum ulnaris ( C.8, T.1, N.ulnaris)
9. Refleks pektoralis( C.5, T.1,N. pektoralis medialis et lateralis)
10.Refleks otot dinding perut( bagian atas: T8-9, bagian tengah : T9-
10, bagian bawah : T11-12).

PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIK
Extensor plantar response
(Babinski sign )
 Refleks Oppenheim
 Refleks Gordon
 Refleks Scaefer
 Refleks Gonda
 Refleks Bing








Tingkat Kemampuan 1
Dapat mengenali dan menempatkan gambaran-gambaran klinik sesuai penyakit ini ketika
membaca literatur. Dalam korespondensi, ia dapat mengenal gambaran klinik ini, dan tahu bagaimana mendapatkan informasi lebih lanjut. Level ini mengindikasikan overview level. Bila menghadapi pasien dengan gambaran klinik ini dan menduga penyakitnya, Dokter segera merujuk.


Tingkat Kemampuan 2
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium
sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk pasien secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti sesudahnya

Tingkat Kemampuan 3
3a. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).

3b. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).

Tingkat Kemampuan 4
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan- pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium
sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.













DAFTAR PUSTAKA

Aesculapius, Media. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Ed : Arif mansjoer, Suprohaita, wahyu ika wardhani, wiwiek setiowulan. Salemba : FK UI
A. Price, Sylvia ,M. Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. ed : Hartanto, Huriawati, dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Behrman, Richard E. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition: W. B. Saunders
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. ed : Hartanto, Huriawati, dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Harsono. 1996, Kejang Demam, dalam : Neurologi Klinis, edisi I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mardjono, M. 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam : Neurologi Klinis Dasar, edisi V : hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta.
Pharmacy Guide, MIMS. 2008. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi ed. 8. Jakarta : PT. InfoMaster lisensi dari CMPMedica
Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Kejang Demam, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 847-855, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.


http://www.scribd.com/document_downloads/6506569?extension=pdf

Journal :
J, Nakayama , Arinami T. 2006. Molecular Genetic of Febrile Seizures.
At http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16887333.html

Tidak ada komentar: