Pengikut

Selasa, 02 Februari 2010

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS

terjemahan dari Harrison's PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Seventeenth Edition

Definisi dan Prevalensi

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro).

Etiologi dan Patogenesis

Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet

SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing berkontribusi terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah berakumulasi , penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari komplemen (C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian SLE, namun defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5 hingga 3 kali lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi klirens sel apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan antigen (HLA-DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis (MCP-1). Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap predisposisi penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap manifestasi klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang merupakan predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s, Terdapat pula beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen ini mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respon imun yang memanjang.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas.

Patologi

Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan antara dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit basal, dan peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh darah serta pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara klinis juga dapat memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.

Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO). Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS) telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel 1) yang kemungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS adalah penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga memberikan informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini (dapat reversible atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit glomerular, walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga penting dalam manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV, begitupula dengan penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau IV, sebaiknya ditangani dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan, karena terdapat resiko tinggi gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau terlambat ditangani. Penanganan lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit kelopok I dan II atau dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak, diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa kriteria diagnosis lainnya.

Tidak ada komentar: